Sejarah Tembakau Temanggung


Gege Dbako - Berdasarkan naskah Jawa, "Babad Ing Sangkala" disebutkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga pada tahun 1523 Saka atau tahun 1602 Masehi (Subangun dan Thnuwidjojo, 1993). Sejakpengenalan sampai dengan tahun 1830-an, pengusahaan tembakau pada dasarnya dilaksanakan secara kecil-kecilan ol"h p.t"ni dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan persembahan kepada penguasa @admo dan Djatmiko, 1991). Pada periode berikutnya tepatnya pada tahun 1857 George Berni mulai mengembangkan tembakau cerutu di daerah eks Karesidenan Besuki, tepatnya di daerah Jember dan iekitarnya (PT Perkebunan XXVII, 1992). Selain di daerah Jember tembakau cerutu juga dikembangkan di daerah Deli dan Surakarta, semuanya diekspor ke Eropa. 

Untuk tembakau rakyat pengembangannya sangat tergantung pada pasar lokal. Menurut Rumphius (Subangun dan ?nuwidjojo, 1993) sekitar tahun 1650 penanaman tembakau dapat dijumpai di banyak wilayah Indonesia. Areal tembakau berskala luas didapatkan di daerah-daerah seperti Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan. Tembakau yang dikembangkan di wilayah eks Karesidenan Kedu selanjutnya disebut tembakau kedu. Areal penanamannya menyebar di lereng Gunung Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Prahu masing-masing masuk wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Kendal. Pada tahun 1940 areal tembakau di wilayah daerah Propinsi Jawa Tengah seluas 65.(X)0 hekrar, lebih dari 30.000 hektar terdapat di wilayah eks Karesidenan Kedu (Dutch Tobacco Growers,
1es1).

Pusat pengembangan dan pengolahan yang sekaligus sebagai pusat pemasaran tembakau kedu adalah di wilayah Kabupaten Temanggung. Areal tembakau di Kabupaten Temanggung sekitar 20.0m hektar yang sebagian besar menyebar di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Tembakau kedu yang berada di luar wilayah Kabupaten Temanggung seluruhnya dijual di Temanggung dalam bentuk daun hijau. Oleh karena itu selanjutnya tembakau kedu yang berasal dari wilayah Kabupaten Temanggung disebut tembakau temanggung, sedang yang berasal dari luar Temanggung disebut temanggungan. Dalam pengolahannya menjadi tembakau rajangan, kedua jenis tembakau terse-*) 

Masing-masing Peneliti pada Balai Penelitian Tembakau dan Thnaman Serat, Milang. Tembakau tersebut dicampur, produk tembakau rajangan yang diperoleh dengan merk dagang tembakau temanggung. Khusus tembakau dari Kabupaten Wonosobo scbagian kecil diolah menjadi tembakau garangan, sebagai bahan rokok tradisional (lintingan). Bagi konsumen pencampuran tersebut bukan merupakan masalah, bahkan kemungkinan justru merupakan usaha petani/pedagang untuk memenuhi selera konsumen. Karena pasar tembakau rajangan tidak membedakan antara tembakau temanggung dan temanggungan, beberapa pihak berpendapat bahwa tembakau kedu lebih tepat disebut tembakau temanggung.

Kebijakan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu serta pendapatan petani tembakau temanggung, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan program intensifikasi tembakau rakyat (ITR). Program ITR merupakan pengembangan dari keberhasilan program intensifikasi pada padi yang manpu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Seperti halnya program intensifikasi pada padi, pada program ITR petani peserta mendapat fasilitas kredit modal perrnanen (KMKP) dalam bentuk uang dan sarana produksi serta bimbingan dari para penyuluh.

Pembina program ITR adalah Cabang Dinas Perkebunan Daerah Tingkat II Kabupaten Temanggung, dalam hal ini sebagai pelaksananya adalah unit pelaksana proyek (UPP), namun tidak berperan sebagai pengelola (pembeli). Dengan kata lain UPP sebagai pembina ITR tidak memberi jaminan pasar terhadap hasil tembakau dari para peserta. Berdasarkan penelitian Mukani dan Isdijoso (1990) menunjukkan bahwa Program ITR tidak mampu meningkatkan produktivitas, mutu, dan pendapatan petani tembakau temanggung. Fenomena ini menegaskan bahwa jaminan pasar merupakan faktor kunci dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu serta pendapatan petani.

Sampai saat ini kegagalan usaha tani tembakau temanggung yang disebabkan serangan penyakit masih cukup tinggi. Menurut Murdiyati et al. (1991) bibit yang berasal dari Kemloko merupakan sumber nematoda puru akar dan bakteri, sedang bibit dari Sitieng merupakan sumber bakteri.
Oleh karena itu usaha pengendalian patogen di pembibitan perlu dilakukan.

Untuk mengatasi serangan nematoda puru akar pada pembibitan di Kemloko, pada musim tanam tahun 1990 PT PR Djarum telah membantu pedagang bibit di daerah ini dengan memberikan Furadan 3G untuk bcdengan seluas 5 ha. Namun pemberian Furadan hanya dilakukan satu kali pada saat sebelum tabur benih, padahal efektivitas Furadan hanya 30 hari, sedangkan bibit dicabut sejak umur zl0 hari sampai 6 kali pencabutan dengan interval 10 hari. Dengan demikian bibit cabutan kedua dan seterusnya kemungkinan besar masih terinfeksi nematoda. Kebijakan pemerintah dalam tata niaga cengkeh dengan memberi hak monopoli pada BPPC pada tahun 1991 sangat merugikan industri rokok keretek, sehingga secara otomatis menghentikan pembinaan yang dilakukan oleh PT PR Djarum.


PUSTAKA :

Achmad, D. dan Mukani. 2000. Situasi industri sigaret keretek dalam Ttrtoszstro et al. (Ed.) Prosiding
Semiloka Teknologi Tembakau. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. p.53-57.
Dutch Tobacco Growers. 1951. Report on tobacco-cultivation in Indonesia. World Tobacco C-ongres. Amsterdam. 1951.78p.
Mukani dan S.H. Isdijoso. 1990. Peranan program ITR terhadap peningkatan produksi, mutu, dan pendapatan
petani pada usaha tani tembakau temanggung. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Thnaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Buku IV. 178p.
Mukani, S.H. Isdijoso, Joko-Hartono, dan Sri Yulaikah. 1995. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tembakau temanggung. Penelitian Thnaman Tembakau dan Serat 10(1):51-58.
Murdiyati, Dalmadiyo, Mukani, Suwarso, S.H. Isdijoso, Abdul Rachman, dan Bagus Hari-Adi. 1991. Observasi lahan lincat di daerah Temanggung. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. 31p.
Padmo, S. dan E. Djatmiko. 1991. Tembakau kajian sosial-ekonomi. Aditya Media Yogyakarta. 178p.
PT Perkebunan XXVII. 1992. Rencana jangka panjang pengusabaan tembakau cerutu besuki. Prosiding
Diskusi II Tembakau Besuki Na Oogst. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. p.62-
72.
Subangun, E. dan D. Tanuwidjojo. 1993. Industri hasil tembakau tantangan dan peluang. Satuan Tugas Industri Rokok. Jakarta. 87p

Posting Komentar

0 Komentar