Gege Dbako - Keberadaan tembakau temanggung sebagai komoditas komersial memiliki beberapa peranan penting, antara lain peranannya dalam racikan sigaret keretek, terhadap pendapatan petani dan perekonomian wilayah.
Peranan tembakau temanggung dalam racikan sigaret keretek sebagai pembentuk rasa dan aroma, khususnya sigaret keretek tangan (SKT). Sebelum periode tahun delapan puluhan produksi industri sigaret keretek didominasi oleh SKT Dalam racikannya semua industri sigaret keretek membutuhkan tembakau temanggung sehingga persain'gan antar pabrik dalam pembelian tembakau temanggung sangat ketat khususnya tembakau mutu terbaik (srintil). Sesuai dengan hukum pasar, akibatnya harga tembakau srintil sangat mahal. Sebagai ilustrasi pada tahun 1976hatga tertinggi tembakau temanggung mutu srintil mencapai Rp120.000,00 per kg.
Jika berat neto satu keranjang adalah 40 kg maka nilai jual tembakau srintil satu keranjang sebesar Rp4,8 juta. Pada waktu itu nilai tersebut setara dengan harga sebuah Jeep Toyota dalam kondisi baru. Lahan yang mampu menghasilkan tembakau srintil terbatas, dan hanya terjadi pada keadaan iklim yang kering saja.
Pada awal tahun tujuh puluhan dalam upaya memanfaatkan peluang pasar dan sekaligus merebut pasar sigaret putih mesin (SPlu|, beberapa pabrik sigaret keretek membuat produk sigaret keretek mesin (SKM). Dibandingkan dengan SKI SKM rasanya lebih ringan dan aromanya lebih segar serta kandungan tembakau tiap batang lebih sedikit. Kenyataannya SKM diminati oleh konsumen, sebagai gambaran jika pada tahun 1972 produksi SKM sebanyak 46 juta batang sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1981 meningkat menjadi 22,9 milyarbatang. Pada tahun 1985 produksi SKM mampu melampaui SKI bahkan tahun 1997 mencapai dua setengah kali produksi SKT (Achmad dan Mukani, L999).
Pergeseran selera konsumen dari SKT ke SKM, menyebabkan pergeseran kebutuhan tembakau temanggung dari yang rasanya berat ke arah yang lebih ringan. Tembakau temanggung rasa berat terdapat pada mutu F dan G, sedang rasa ringan pada mutu E ke bawah. Permintaan tembakau temanggung tcrbanyak adalah mutu D dan E, sebaliknya untuk mutu F dan G menurun. Sesuai dengan hukum pasar, harga mutu D dan E meningkat, sebaliknya harga mutu F dan G menurun. Sebagai ilustrasi jika pada tahun 1988 harga tembakau mutu D dan E sebesar Rp16.000,00 pada tahun L990 meningkat menjadi Rp22.500,00 per kg. Sebaliknya pada periode yang sama tembakau mutu F dan G nenurun dari Rp60.000,00 menjadi Rp35.000,00 per kg (Subangun dan Thnuwidjojo,
1993).
Di samping itu faktor yang berpengaruh terhadap harga adalah curah hujan pada bulan JuliSeptember dengan elastisitas sebesar {),0989 (Mukani et al., 1995). Makin tinggi curah hujan pada periode bulan Juli-September harga semakin turun.
Meningkatnya kebutuhan tembakau mutu D dan E ternyata tidak dapat dipenuhi hanya dari tembakau temanggung dan temanggungan saja. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh petani di daerah lain seperti di wilayah Kabupaten Malang, Magetan, dan Nganjuk dengan menanam tembakau temanggung jenis Kenrloko. Pemilihan lahan didasarkan ketinggian tempat yang sesuai dengan kondisi di Tcrnanggung yaitu minimal 700 m dpl. Tembakau tersebut dijual dalam bentuk daun hijau dibeli di lokasi oleh pedagang tembakau dari Temanggung, yang selanjutnya dijual ke petani atau pengusaha rajangan. Transaksi dapat dilakukan di tempat petani atau pengusaha rajangan dan pasar daun tembakau di Parakan.
Pada saat SKT mendominasi produksi sigaret keretek, tembakau temanggung merupakan sumber pendapatan utama bagi petani, puncaknya sampai dengan akhir tujuh puluhan. Selanjutnya menginjak tahun delapan puluhan setelah terjadi pergeseran konsumen dari SKT ke SKM peranan tersebut terus menurun khususnya tembakau di lahan tegal. Faktor penyebabnya adalah menurunnya harga tenrbakau mutu F dan G serta makin meningkatnya biaya produksi, sebagai akibat dari meningkatnya harga pupuk anorganik dan pupuk kandang serta upah tenaga kerja. Sebagai bukti menurunnya peranan tersebut disajikan keragaan pendapatan usaha tani tembakau temanggung di lahan legal dan sawah pada tahun 1993-1998 (Iabel l).
Dari Tabel 1 mcnunjukkan bahwa selama periode tersebut baik usaha tani tembakau temanggung di lahan tcgal dan sawah masing-masing mengalami keuntungan dan kerugian sebanyak tiga kali dalam periode tahun yang sama. Jumlah keuntungan dan kerugian di lalan tegal berturut-turut sebesar Rp7.307.811,00 dan Rp8.282.807,00 sedang di lahan sawah Rp4.167.235,0O dan Rp5.299.947,00. Dengan demikian selama periode tahun 1993-1998 usaha tani tembakau temanggung di lahan tegal dan sawah masing-masing mengalami kerugian sebesar Rp974.996,00 dan Rp1.I32.712,00 per hektar per tahun.
Kabupatcn Temanggung sebagai pusat pengembangan dan pengolahan yang sekaligus sebagai pusat pemasaran tembakau sangat menguntungkan dalam perekonomian wilayah. Tidak berlebihan jika pemerintah daerah memilih tenrbakau sebagai lambang Kabupaten Temanggung. Tembakau dalam bentuk olahan (rajangan kering) pada tahun 1997 kuantumnya sekitar 15.0m torq untuk mudahnya jika harga tembakau rata-rata Rp15.000,fi) junrlah uang yang beredar untuk perdagangan tembakau mencapai Rp225 milyar. Pendapatan dari usaha tani tembakau sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan primer dalam hal ini pangan sepeyti padi dan jtgung, dipenuhi dari hasil tanaman sendiri yang diusahakan pada saat sebelum atau setelah tanaman tembakau. Pengeluaran unfuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier elastis terhadap tambahan pendapatan. Dengan demikian pengaruh pengganda (multiplier effecl) cukup tinggi, sehingga mampu beqperan sebagai sumber pertumbuhan perekonomian daerah. Di samping itu daun bawah tembakau temanggung diolah dalam bentuk kerosok sebagai komoditas ekspor, dengan nama tembakau kedu VO. Pada tahun 1994 volume dan nilai ekspor masing-masing sebesar 192,7 tondan 156,5 US$, pada tahun 1997 masing-masing meningkat menjadi 390,5 ton dan349,7 juta US$
PUSTAKA
PUSTAKA
- Achmad, D. dan Mukani. 2000. Situasi industri sigaret keretek dalam Ttrtoszstro et al. (Ed.) Prosiding
- Semiloka Teknologi Tembakau. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. p.53-57.
- Dutch Tobacco Growers. 1951. Report on tobacco-cultivation in Indonesia. World Tobacco C-ongres. Amsterdam. 1951.78p.
- Mukani dan S.H. Isdijoso. 1990. Peranan program ITR terhadap peningkatan produksi, mutu, dan pendapatan
- petani pada usaha tani tembakau temanggung. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Thnaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Buku IV. 178p.
- Mukani, S.H. Isdijoso, Joko-Hartono, dan Sri Yulaikah. 1995. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tembakau temanggung. Penelitian Thnaman Tembakau dan Serat 10(1):51-58.
- Murdiyati, Dalmadiyo, Mukani, Suwarso, S.H. Isdijoso, Abdul Rachman, dan Bagus Hari-Adi. 1991. Observasi lahan lincat di daerah Temanggung. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. 31p.
- Padmo, S. dan E. Djatmiko. 1991. Tembakau kajian sosial-ekonomi. Aditya Media Yogyakarta. 178p.
- PT Perkebunan XXVII. 1992. Rencana jangka panjang pengusabaan tembakau cerutu besuki. Prosiding
- Diskusi II Tembakau Besuki Na Oogst. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. p.62-
- 72.
- Subangun, E. dan D. Tanuwidjojo. 1993. Industri hasil tembakau tantangan dan peluang. Satuan Tugas Industri Rokok. Jakarta. 87p
0 Komentar